Selasa, 17 November 2009

Motivasi (Part 2)

Aktualisasi Teori Motivasi Abraham Maslow Untuk Peningkatan Kinerja

Setelah suatu perusahaan memperoleh tenaga kerja, melatih mereka, dan kemudian memberikan pengupahan yang layak dan adil, tugas pemimpin perusahaan (manajer) belum selesai. Dalam kenyataan, tidak selalu seseorang yang telah digaji cukup akan merasa puas dengan pekerjaannya. Banyak faktor (di samping gaji) yang menyebabkan orang merasa puas atau tidak puas bekerja pada suatu organisasi. Seorang manajer adalah orang yang bekerja dengan bantuan orang lain. Ia tidak menjalankan semua pekerjaan sendirian saja, melainkan mengarahkan orang lain dalam tim untuk melaksanakannya. Jika tugas yang diarahkan tidak dapat dilaksanakan oleh karyawannya, seorang manajer harus mengetahui sebab-sebabnya. Mungkin karyawan yang bersangkutan memang tidak kompeten di bidangnya, tetapi mungkin pula ia tidak mempunyai motivasi untuk bekerja dengan baik.

Dari kenyataan ini, penulis melihat bahwa motivasi merupakan unsur hakiki dalam integrasi antara pribadi individu (dalam hal ini karyawan perusahaan) dan tujuan organisasi. Dalam konteks ini, pemberian motivasi merupakan salah satu fungsi dan tugas dari seorang manajer. Ia harus mampu memotivasi individu-individu yang terlibat untuk dapat memberikan kinerja yang optimal demi pencapaian tujuan organisasi.
Teori Maslow akan menjadi titik tolak dan landasan pemikiran bagi gagasan tentang penemuan motivasi untuk peningkatan kinerja individu dalam organisasi. Tidak disangkal bahwa dewasa ini muncul pelbagai kritik tentang validitas teori ini . Namun sebagai konsep dasar bagi pengenalan struktur pribadi individu dan pelbagai faktor yang mendorong orang melakukan sesuatu, teori ini masih bisa bergema keras. Stephen P. Robbins, dalam buku Perilaku Organisasi, menulis bahwa “meskipun dikritik habis-habisan..., agaknya [teori Maslow] masih merupakan penjelasan yang paling baik soal motivasi karyawan”. Teori-teori lain yang muncul setelah teori Maslow lebih merupakan penyempurnaan dan penyesuaian daripada penemuan suatu teori yang betul-betul baru. Dari telaah filosofis, dengan kelebihan maupun kelemahan teorinya, Maslow telah berhasil mencetuskan pemikiran yang amat bermanfaat. Kelebihan dari teorinya jelas memberikan sumbangan besar dalam pengetahuan tentang motivasi dan kepribadian manusia. Dan kelemahan teorinya serta-merta tetap berguna karena telah memberikan atau memancing feedback bagi pemikir-pemikir selanjutnya untuk memperbaiki dan menyempurnakannya.


TEORI ABRAHAM MASLOW TENTANG MOTIVASI

Apa itu “motivasi”? Ditinjau dari etimologinya, “motivasi” berasal dari kata Latin motivus atau motum yang berarti menggerakkan atau memindahkan.

Menurut Stephen P. Robbins, motivasi adalah “proses yang ikut menentukan intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran”. Tiga kata kunci dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan (yang mengandaikan berlangsung lama). Intensitas dimaksudkan seberapa keras seseorang berusaha. Agar dapat menghasilkan kinerja yang baik, intensitas (setinggi apa pun) harus mempunyai arah yang menguntungkan organisasi. Dan akhirnya, intensitas dan arah yang telah dimiliki harus diterapkan secara tekun dan berlangsung lama. Inilah ukuran sejauh mana orang dapat mempertahankan usahanya. Individu yang termotivasi akan tetap bertahan dengan pekerjaannya dalam waktu cukup lama untuk mencapai sasaran mereka. Sebaliknya, seseorang yang tidak termotivasi hanya akan memberikan upaya minimum dalam hal bekerja. Konsep motivasi kiranya merupakan sebuah konsep penting dalam studi tentang kinerja individu dalam organisasi.


Teori tentang Hirarki Kebutuhan, Maslow dalam karya masyhurnya, Motivation and Personality, memaparkan terlebih dahulu sejumlah proposisi yang harus diperhatikan sebelum seseorang menyusun sebuah teori motivasi yang sehat. Maslow mengakui sendiri bahwa sejumlah proposisi sangat benar dalam arti dapat diterima oleh banyak kalangan. Sejumlah proposisi lain barangkali kurang dapat diterima dan dapat diperdebatkan.


CONTOH TEORI HIRARKI KEBUTUHAN MASLOW DENGAN TEORI TUJUAN

Bila kita telisik keinginan dalam pengalaman sehari-hari, hal penting untuk disadari adalah pembedaan antara cara dan tujuan. Kebutuhan-kebutuhan biasanya lebih merupakan cara atau sarana bagi suatu tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Misalnya kita menginginkan atau membutuhkan uang agar dapat membeli mobil. Analisis selanjutnya menunjukkan bahwa kita menginginkan mobil karena para tetangga memilikinya dan kita tidak ingin merasa kurang daripada mereka. Rupanya ini soal harga diri dan kebutuhan untuk dihormati. Kita dapati bahwa ada gejala dan ada pula arti di balik gejala, yakni apa yang sesungguhnya menjadi tujuan yang lebih dasariah pada akhirnya. Intinya kita harus menemukan tujuan terdalam seseorang ketika menginginkan sesuatu bila tidak ingin terjatuh dalam pemuasan kebutuhan yang tidak tepat sasaran. Tujuan-tujuan lebih universal daripada cara-cara yang ditempuh untuk mencapainya. Karena faktor budaya, bisa saja tujuan yang sama, misalnya harga diri, dicapai individu dalam masyarakat tertentu dengan menjadi prajurit, dan dalam masyarakat yang lain dicapai dengan menjadi dokter. Karena perbedaan perilaku individu dalam pemuasan kebutuhan tersebut, orang seringkali membuat pembedaan atas tujuan yang sebetulnya sama. Meskipun beragam budaya, sebetulnya umat manusia lebih banyak serupa daripada yang terlihat dan disangka banyak orang.



Seseorang bisa jadi dapat menjelaskan motivasi tertentu yang mendasari perilakunya. Namun tidak jarang terdapat pula aneka motivasi lain yang barangkali tidak disadari dan dikira oleh individu itu. Satu gejala sekaligus dapat menggambarkan bermacam-macam keinginan yang berbeda-beda, bahkan juga kepentingan-kepentingan yang bertentangan satu sama lain.

Manusia adalah makhluk yang punya keinginan dan jarang mencapai keadaan puas sepenuhnya kecuali untuk waktu yang singkat. Apabila keinginan yang satu telah terpenuhi, keinginan lainnya akan timbul menggantikan keinginan sebelumnya. Jika keinginan itu pun terpenuhi, masih ada keinginan lainnya yang akan menyusul, dan begitu seterusnya. Kenyataan ini menuntut kita untuk menelaah tata hubungan semua motivasi satu sama lain. Pada saat yang sama, kita juga harus melepaskan unit-unit motivasi yang tersendiri untuk mencapai pengertian lebih luas yang dicari.

Maslow, sebagaimana juga J. Dewey dan Thorndike, menekankan aspek motivasi yang sering diabaikan kebanyakan psikolog, yakni kemungkinan. Pada umumnya secara sadar kita mendambakan apa yang menurut pikiran kita dapat dicapai. Bila penghasilan seseorang bertambah, ia sadar bahwa dirinya secara aktif mengharapkan untuk memperoleh hal-hal yang diidamkan beberapa tahun sebelumnya. Bila rata-rata orang mendambakan mobil dan rumah, hal itu lumrah dan merupakan kemungkinan yang nyata. Mereka tidak mendambakan pesawat jet atau kapal pesiar karena barang-barang itu ada di luar jangkauan rata-rata kemampuannya. Mungkin sekali bahwa secara tidak sadar pun ia tidak mendambakannya. Faktor kemungkinan untuk mencapai hasil ini penting diperhatikan dalam usaha memahami perbedaan motivasi di antara berbagai kelas dalam masyarakat atau antara individu-individu dari negara atau kebudayaan yang berbeda-beda.



Teori Motivasi Abraham Maslow: Hirarki Kebutuhan

Maslow mengembangkan teori tentang bagaimana semua motivasi saling berkaitan. Ia menyebut teorinya sebagai “hirarki kebutuhan”. Kebutuhan ini mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Ketika satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi, orang tidak lagi mendapat motivasi dari kebutuhan tersebut. Selanjutnya orang akan berusaha memenuhi kebutuhan tingkat berikutnya. Maslow membagi tingkat kebutuhan manusia menjadi sebagai berikut:

  1. Kebutuhan fisiologis: kebutuhan yang dasariah, misalnya rasa lapar, haus, tempat berteduh, seks, tidur, oksigen, dan kebutuhan jasmani lainnya.
  2. Kebutuhan akan rasa aman: mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.
  3. Kebutuhan sosial: mencakup kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki, kasih sayang, diterima-baik, dan persahabatan.
  4. Kebutuhan akan penghargaan: mencakup faktor penghormatan internal seperti harga diri, otonomi, dan prestasi; serta faktor eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian.
  5. Kebutuhan akan aktualisasi diri: mencakup hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya.

Maslow menyebut teori Hirarki Kebutuhan-nya sendiri sebagai sintesis atau perpaduan teori yang holistik dinamis. Disebut demikian karena Maslow mendasarkan teorinya dengan mengikuti tradisi fungsional James dan Dewey, yang dipadu dengan unsur-unsur kepercayaan Wertheimer, Goldstein, dan psikologi Gestalt, dan dengan dinamisme Freud, Fromm, Horney, Reich, Jung, Adler.



APLIKASI HIRARKI KEBUTUHAN MASLOW DALAM MANAJEMEN
Kebutuhan Fisiologis

Seorang pemimpin atau manajer jangan berharap terlalu banyak dari karyawan yang kelaparan. Berbeda dari kebutuhan-kebutuhan tingkat berikutnya, kebutuhan pokok ini hanya bisa dipenuhi oleh pemicu kekurangannya. Rasa lapar hanya dapat dipuaskan dengan makanan. Jangan berharap bahwa nasihat dan petuah saleh dapat memuaskannya. Maslow menggambarkan bahwa bagi manusia yang selalu dan sangat kelaparan atau kehausan, utopia dapat dirumuskan sebagai suatu tempat yang penuh makanan dan minuman. Ia cenderung berpikir bahwa seandainya makanannya terjamin sepanjang hidupnya, maka sempurnalah kebahagiaannya. Orang seperti itu hanya hidup untuk makan saja. Untuk memotivasi kinerja karyawan seperti ini, tentu saja makanan solusinya. Tunjangan ekstra untuk konsumsi akan lebih menggerakkan semangat kerja orang seperti ini dibandingkan dengan nasehat tentang integritas individu dalam organisasi.


Kebutuhan Rasa Aman

Dalam konteks perilaku kinerja individu dalam organisasi, kebutuhan akan rasa aman menampilkan diri dalam perilaku preferensi individu akan dunia kerja yang adem-ayem, aman, tertib, teramalkan, taat-hukum, teratur, dapat diandalkan, dan di mana tidak terjadi hal-hal yang tak disangka-sangka, kacau, kalut, atau berbahaya. Untuk dapat memotivasi karyawannya, seorang manajer harus memahami apa yang menjadi kebutuhan karyawannya. Bila yang mereka butuhkan adalah rasa aman dalam kerja, kinerja mereka akan termotivasi oleh tawaran keamanan. Pemahaman akan tingkat kebutuhan ini juga dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa karyawan tertentu tidak suka inovasi baru dan cenderung meneruskan apa yang telah berjalan. Atau dipakai untuk memahami mengapa orang tertentu lebih berani menempuh resiko, sedangkan yang lain tidak.

Dalam organisasi, kita seringkali mendapati perilaku individu yang berusaha mencari batas-batas perilaku yang diperkenankan (permisible behavior). Ia menginginkan kebebasan dalam batas tertentu daripada kebebasan yang tanpa batas. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang batas-batas perilaku yang diterima bagi dirinya sendiri dapat mempunyai perasaan terancam. Agaknya ia akan berupaya untuk menemukan batas-batas seperti itu, sekalipun pada saat-saat tertentu, ia harus berperilaku dengan cara-cara yang tidak dapat diterima. Para manajer dapat mengakomodasi kebutuhan akan rasa aman dalam organisasi dengan jalan membentuk dan memaksakan standar-standar perilaku yang jelas. Penting dicatat juga bahwa perasaan manusia tentang keamanan juga terancam apabila ia merasa tergantung pada pihak lain. Ia merasa bahwa ia akan kehilangan kepastian bila tanpa sengaja melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki. Individu yang berada dalam hubungan dependen seperti itu akan merasa bahwa kebutuhan terbesarnya adalah jaminan dan proteksi. Hampir setiap individu dalam tingkat kebutuhan ini akan menginginkan ketenteraman, supervisi, dan peluang kerja yang bersinambung.
Dewasa ini marak wacana adanya kemungkinan para karyawan di-PHK karena faktor teknologi yang berkembang. Dalam situasi ini, manajer dapat memotivasi karyawan dengan jalan memberikan suatu jaminan kepastian jabatan (job-security-pledge).


Kebutuhan Sosial


Individu dalam organisasi menginginkan dirinya tergolong pada kelompok tertentu. Ia ingin berasosiasi dengan rekan lain, diterima, berbagi, dan menerima sikap persahabatan dan afeksi. Walaupun banyak manajer dewasa ini memahami adanya kebutuhan demikian, kadang mereka secara keliru menganggapnya sebagai ancaman bagi organisasi mereka sehingga tindakan-tindakan mereka disesuaikan dengan pandangan demikian. Organisasi atau perusahaan yang terlalu tajam dan jelas membedakan posisi pimpinan dan bawahan seringkali mengabaikan kebutuhan karyawan akan rasa memiliki (sense of belonging). Seharusnya karyawan pada level kebutuhan ini dimotivasi untuk memiliki rasa memiliki atas misi dan visi organisasi dan menyatukan ambisi personal dengan ambisi organisasi. Antara pengembangan pribadi dan organisasi mempunyai hubungan resiprok yang hasilnya dirasakan secara timbal balik.

Dalam ranah Perilaku Organisasi, kita kenal apa yang disebut manajemen konflik. Berbeda dari pandangan tradisional yang melihat konflik secara negatif, terdapat pandangan interaksionis yang melihat konflik tidak hanya sebagai kekuatan positif dalam kelompok namun juga sangat diperlukan agar kelompok berkinerja efektif. Konflik bisa baik atau buruk tergantung pada tipenya. Tanpa bermaksud menolak atau mendukung salah satu pandangan, dapat dikatakan bahwa potensi konflik dalam organisasi selain mengganggu rasa aman juga dapat menciptakan alienasi yang mengakibatkan disorientasi. Potensi mobilitas yang berlebihan yang umumnya dipaksakan oleh industrialisasi mengancam tercabutnya rasa kerasan dalam kelompok kerja, tantangan untuk adaptasi dalam kelompok baru dan asing, dan akhirnya menimbulkan kebutuhan akan rasa memiliki dan aneka kebutuhan yang masuk dalam hirarki tahap ini.

Kebutuhan Akan Penghargaan

Ternyata tidak selamanya uang dapat memotivasi perilaku individu dalam organisasi. Dari semua indikasi yang terdata, tampaknya organisasi yang menyandarkan peningkatan kinerja karyawan mereka pada aspek finansial, tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Benar bahwa uang adalah salah satu alat motivasi yang kuat, tetapi penggunaannya harus disesuaikan dengan persepsi nilai setiap karyawan. Individu tertentu pada saat dan kondisi tertentu barangkali tidak lagi merasakan uang sebagai penggerak kinerja.
Ketimbang uang, individu pada level ini lebih membutuhkan tantangan yang dapat mengeksplorasi potensi dan bakat yang dimilikinya. Tidak mengherankan bahwa sejumlah top manajer tiba-tiba mengundurkan diri ketika merasa tidak ada lagi tantangan dalam perusahaan tempat mereka bekerja. Keinginan atau hasrat kompetitif untuk menonjol atau melampaui orang lain boleh dikatakan sebagai sifat universal manusia. Kebutuhan akan penghargaan ini jika dikelola dengan tepat dapat menimbulkan kinerja organisasi yang luar biasa. Tidak seperti halnya kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih rendah, kebutuhan akan penghargaan ini jarang sekali terpenuhi secara sempurna.

Sebagai bagian dari sebuah pendekatan yang lebih konstruktif, manajemen partisipatif dan program-program umpan balik positif (positive feedback programs) dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan. Pendelegasian otonomi dan tanggung jawab yang lebih luas kepada karyawan telah terbukti efektif untuk memotivasi kinerja dan performa yang lebih baik. Keberhasilan eksperimen Mayo seperti telah diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa penghargaan finansial terbukti tidak selamanya seefektif penghargaan psikis. Masalahnya, banyak manajer seringkali lupa atau berpikir banyak kali untuk memberikan pujian dan pengakuan tulus bagi prestasi karyawan, dan sebaliknya tanpa pikir dua kali untuk melemparkan kritik atas pekerjaan buruk bawahannya.

Kebutuhan Akan Aktualisasi Diri

Dewasa ini bahkan sejumlah pemikir menjadikan kebutuhan ini sebagai titik tolak prioritas untuk membina manusia berkepribadian unggul. Belakangan ini muncul gagasan tentang perlunya jembatan antara kemampuan majanerial secara ekonomis dengan kedalaman spiritual. Manajer yang diharapkan adalah pemimpin yang handal tanpa melupakan sisi kerohanian. Dalam konteks ini, piramida kebutuhan Maslow yang berangkat dari titik tolak kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri diputarbalikkan. Dengan demikian perilaku organisme yang diharapkan bukanlah perilaku yang rakus dan terus-menerus mengejar pemuasan kebutuhan, melainkan perilaku yang lebih suka memahami daripada dipahami, memberi daripada menerima. Dalam makalah ini, gagasan aktualisasi diri akan mendapat sorotan lebih luas dan dalam sebelum masuk dalam pembahasan penerapan teori.
Maslow mengidentifikasikan 19 karakteristik pribadi yang sampai pada tingkat aktualisasi diri.

  1. Persepsi yang jelas tentang hidup (realitas)
  2. Lebih obyektif dan tidak emosional..
  3. Mempunyai spontanitas yang lebih tinggi.
  4. Keterpusatan-pada-masalah.
  5. Merindukan kesunyian.
  6. Mereka sangat mandiri dan otonom.
  7. Mengalami apa yang disebut “pengalaman puncak” (peak experience);
  8. lebih rendah hati dan menaruh hormat pada orang lain.
  9. Memiliki etika yang jelas tentang apa yang baik dan apa yang jahat.
  10. Selera humor yang baik.
  11. Kreatif dalam mengucapkan, melakukan, dan menyelesaikan sesuatu.
  12. Mereka memiliki penghargaan yang sehat atas diri sendiri bertolak dari pengenalan akan potensi diri mereka sendiri.
  13. Ketidaksempurnaan
  14. Mereka mempunyai “hirarki nilai” yang jelas.
  15. Resistensi terhadap inkulturisasi.
  16. Mereka cenderung mencari persahabatan dengan orang yang memiliki karakter yang sama, seperti jujur, tulus hati, baik hati dan berani.
  17. Cenderung membina hidup perkawinan yang kokoh, bahagia, dan berlangsung seumur hidup.
  18. Mereka itu sangat filosofis dan sabar dalam menuntut atau menerima perubahan yang perlu secara tertib.
  19. Disiplin diri.

Contoh Kasus :

Kami mengambil contoh kasus dari seorang guru SMA yang mengajar pelajaran ekonomi. Guru tersebut bidang ekonomi terutama dalam hal memanage keuangan, kepala sekolah telah mengajar selama 5 tahun di SMA tersebut. Melihat potensinya di memberikan kepercayaan pada guru tersebut untuk menempati posisi di bagian Tata Usaha. Jadi apabila guru tersebut mempunyai waktu luang di luar jam mengajar, ia dapat melaksanakan tugasnya di bagian Tata Usaha. Jika memungkinkan, guru tersebut dapat memilih untuk mengambil jam mengajar ekonomi di pagi hari dan kemudian ia dapat beaktivitas di Tata Usaha di siang harinya. Dengan demikian ia dapat mengaktualisasikan dirinya, dengan cara mengeksplorasi potensinya, bukan hanya sebatas sebagai sosok pengajar saja tapi juga di bidang pekerjaan lain yang sesuai dengan potensinya.

TEORI TUJUAN

Teori ini menyatakan bahwa mencapai tujuan adalah sebuah motivator. Hampir setiap orang menyukai kepuasan kerja karena mencapai sebuah tujuan spesifik. Saat seseorang menentukan tujuan yang jelas, kinerja biasanya meningkat sebab:

· Ia akan berorientasi pada hal hal yang diperlukan

· Ia akan berusaha keras mencapai tujuan tersebut

· Tugas tugas sebisa mungkin akan diselesaikan

· Semua jalan untuk mencapai tujuan pasti ditempuh

Kejelasan Tujuan

Teori ini mengatakan bahwa kita akan bergerak jika kita memiliki tujuan yang jelas dan pasti. Dari teori ini muncul bahwa seseorang akan memiliki motivasi yang tinggi jika dia memiliki tujuan yang jelas. Sehingga muncullah apa yang disebut dengan Goal Setting (penetapan tujuan).

Penetapan tujuan juga dapat ditemukan dalam teori motivasi harapan. Individu menetapkan sasaran pribadi yang ingin dicapai. Sasaran-sasaran pribadi memiliki nilai kepentingan pribadi (valence) yang berbeda-beda.

Proses penetapan tujuan (goal setting) dapat dilakukan berdasarkan prakarsa sendiri, diwajibkan oleh organisasi sebagai satu kebijakan peusahaan. Bila didasarkan oleh prakarsa sendiri dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja individu bercorak proaktif dan ia akan memiliki keterikatan (commitment) besar untuk berusaha mencapai tujuan-tujuan yang telah ia tetapkan. Bila seorang tenaga kerja memiliki motivasi kerja yang lebih bercorak reaktif, pada saat ia diberi tugas untuk menetapkan sasaran-sasaran kerjanya untuk kurun waktu tertentu dapat terjadi bahwa keterikatan terhadap usaha mencapai tujuan tersebut tidak terlalu besar.

Contoh Kasus :

Kimia Farma, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri farmasi Indonesia, memiliki visi menjadi perusahaan pelayanan kesehatan utama di Indonesia yang berdaya saing global. Dan misi menyediakan produk dan jasa pelayanan kesehatan yang ungul untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan meningkatkan mutu kehidupan, mengembangkan bisnis pelayanan kesehatan untuk meningkatkan nilai perusahaan bagi pemegang saham, karyawan, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang baik, meningkatkan kompetensi dan komitmen sumber daya manusia untuk guna pengembangan perusahaan serta dapat berperan aktif dalam pengembangan industri farmasi nasional. Dengan visi dan misi tersebut, karyawan perusahaan tersebut dapat termotivasi untuk mencapai tujuan yang dimiliki perusahaan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

http://prohumancapital.blogspot.com/2008/07/aktualisasi-teori-motivasi-abraham.html

www.fe.unpad.ac.id/...fe/.../4.teori_motivasi,content_theories.ppt

http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/19/teori-kebutuhan-maslows-model/

Manajemen Sumber Daya Manusia

http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/04/teori-motivasi-kerja.html

http://wangmuba.com/2009/02/18/teori-penetapan-tujuan-goal-setting-theory/

http://www.squidoo.com/definisi-motivasi

http://id.wikipedia.org/wiki/TEORI_MOTIVASI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar